Jumat, 19 September 2008

the upstairs


The Upstairs dibentuk pada bulan Oktober 2001 di Jakarta oleh Jimi Multhazam (vokalis) dan Kubil Idris (gitar) dengan pengaruh musikal dari band-band new wave seperti A Flock Of Seagulls, Devo, Depeche Mode, hingga Joy Division. Menyusul bergabung beberapa bulan kemudian, seorang drummer band metal bernama Beni Adhiantoro dan belakangan bassist Alfi Chaniago. Kebetulan kesemuanya adalah mahasiswa Institut Kesenian Jakarta. Awal 2002 The Upstairs merilis ep bertitel Antahberantah secara do-it-yourself dalam format kaset dan CD yang ludes 300 keping dalam waktu singkat. Ini dilanjutkan dengan serangkaian live performances mereka di Jakarta, Bandung dan Jogjakarta.

Selain karena ciri musikal mereka yang danceable, lirik-lirik lagu yang implisit dan jenial, The Upstairs juga terkenal karena kharisma frontman mereka, Jimi Multhazam yang eksentrik dan pandai bersilat kata jika sedang manggung. Uniknya, style musik yang diusung The Upstairs ini telah jauh lebih dulu muncul sebelum ledakan global new wave revivalist yang dipopulerkan band-band seperti Franz Ferdinand, The Killers, The Bravery, Kaiser Chiefs, Bloc Party dan sebagainya. Pendeknya, The Upstairs memang bukan band yang mengekor trend musik global, mereka justru ikut membidaninya. Sebuah hal yang cukup langka di tanah air ini.

Setelah melalui serangkaian reformasi dalam line-up, kini formasi tersolid The Upstairs adalah Jimi Multhazam (vocals), Kubil Idris (guitar), Beni Adhiantoro (drums), Alfi Chaniago (bass & keyboards), Elta Emmanuella (keyboards & synths) dan Dian Maryana (backing vocal).

The Upstairs merilis debut CD mereka yang bertitel Matraman di bawah independen label Sirkus Rekord pada tanggal 14 Februari 2004. Tepat di malam Valentine tersebut mereka menggelar pula record release party di BBs Bar, Menteng, Jakarta. Acara pesta rilis album itu kemudian tercatat sebagai gig paling ramai yang pernah diselenggarakan di bar sempit namun legendaris tersebut. 100 keping CD Matraman pun ludes dalam hitungan dua jam saja di acara tersebut.

Sebulan kemudian The Upstairs merilis video musik singel pertama mereka Apakah Aku Berada Di Mars atau Mereka Mengundang Orang Mars yang disutradarai The Jadugar (Sutradara Terbaik MTV Indonesia Awards 2003) di MTV Indonesia. Singel ini juga menerima heavy rotation airplay dan sempat menduduki posisi teratas di berbagai charts stasiun radio di pulau Jawa selama beberapa minggu. Begitu pula halnya dengan singel kedua Matraman yang rilis dua bulan kemudian.

Dua singel tersebut menjadi indie hits dan mengakibatkan album Matraman diburu banyak orang. Sayangnya, keterbatasan distribusi indie label membuat album ini sulit didapatkan di pasaran. Untuk menanggulangi permintaan yang meninggi, bulan Agustus 2004 album Matraman dirilis dalam format kaset dengan distribusi nasional via label RNB. Album debut yang menuai banyak pujian dari kritikus lokal ini kemudian oleh majalah MTV Trax ditetapkan sebagai salah satu The Best Indie Album 2004. Majalah HAI di akhir tahun 2004 bahkan memilih The Upstairs sebagai The Best Indie Band 2004.

Seiring dengan demam Matraman di Jakarta, The Upstairs pun makin sering tampil di berbagai pentas seni (pensi) yang digelar SMA-SMA di Jabotabek bersama artis-artis papan atas Indonesia. Nyatanya, semua panggung Pensi SMA bergengsi di Jakarta telah dijelajahi oleh band ini. Akibatnya, Februari 2005 Majalah HAI kemudian memilih The Upstairs sebagai salah satu Band Raja Pensi 2005. Sebuah konser tunggal The Upstairs yang digelar 9 Januari 2005 di De Basic Bar, Jakarta juga menuai sukses besar. 500 tiketnya sold-out hanya dalam waktu 2 jam saja. Fan base The Upstairs pun kian berkembang dan bertambah banyak setiap harinya.

Maret 2005 The Upstairs diminta oleh FFWD Records untuk berpartisipasi di album soundtrack film Catatan Akhir Sekolah bersama Mocca, Seringai, Pure Saturday dan sebagainya. Di album ini The Upstairs menyumbangkan singel terbaru mereka yang berjudul Gadis Gangster. Teramat padatnya jadwal tur konser ke Surabaya, Malang, Jogjakarta, Semarang dan kota-kota lainnya di Jawa mengakibatkan proses penggarapan album baru The Upstairs tersendat-sendat.

Hampir sebagian besar waktu The Upstairs di tahun 2005 dihabiskan di atas panggung. Bermaksud melangkah ke level selanjutnya, The Upstairs menyebarkan demo empat lagu baru mereka ke berbagai label rekaman terkemuka Indonesia untuk membuka kemungkinan bekerjasama. Gayung bersambut, seorang sohib lama yang kemudian bekerja sebagai A&R Warner Music Indonesia, Agus Sasongko, menawarkan kontrak eksklusif bagi The Upstairs.

Akhirnya, pada 19 September 2005 The Upstairs resmi teken kontrak satu album dengan major label Warner Music Indonesia. Proses rekaman album terbaru telah dilakukan sejak Desember 2005 hingga Februari 2006 di Studio Aluna, Kemang yang dimiliki komposer tenar Erwin Gutawa. Proses mixing sendiri dilakukan di Studio A System dengan sound engineer maestro musik elektronik, Andy Ayunir dan mastering oleh Hok Laij di Musica Studio. Album ini rilis Maret 2006.

Keyboardist Elta Emanuella pada tanggal 7 Oktober 2007 secara resmi mengundurkan diri dari band karena ingin melanjutkan studinya di luar negeri. The Upstairs sendiri saat ini tengah sibuk menyelesaikan demoing bagi album penuh ketiga mereka yang bakal rilis tahun 2008.

kaimsasikun



kaimsasikun

In a sea full of rockabilly attitude and punk rock angst, this band stands out as an abstract homage to quiet desperation and the search for direction. With titles like Tired of Being Blind and Pria Dijajah Wanita (Man Conquered by Woman) these sensitive, new-millenium types are Bali's answer to early Radiohead. While the influence is obvious, the less-conventional song structures and lilting lyrics make for a complete listening experience - unusual in an era of quick hit-singles and soundbites. The band dares to take their songs past radio-friendly lengths and cranks out five-minute jams that evoke hints of Catherine Wheel and other UK legends of the 90s.

Though it depends on who you ask, the band takes its name from a dream one of the members had on February 11, 2003, at 11 pm at night. The album has 11 tracks, K is the eleventh letter in the alphabet and the double-neck guitar they use is shaped like, you guessed it, the number 11. Still confused? "Basically it means 11 in a language we made up and really doesn't have a particular meaning," says bassist Sanny. "We just wanted a name people would remember and we thought if we made it unique enough they would."

And in the growing alternative rock scene in Indonesia, more than just fans are beginning to remember these mop-tops from Bali. Female frenzies have been known to ensue following their appearances on stage, while the more controlled elements at their shows are impressed with a polished sound that belies the age of these early twenty-somethings. Their search for meaning continues but the road ahead looks bright as they focus on the creation of a sound just as unique as their name.

DISCOGRAPHY

• Mini-album "Solas"
(Electrohell Records, 2005)

• Album "Kaimsasikun"
(Pro Sound, 2004)