Senin, 06 Oktober 2008

MAnuSia YANk NAiF



NAIF IS:




PEPENG "DRUMMER BOY"
Franki Indrasmoro Sumbodo
Kudus, 15 Januari 1976




JARWO "GUITAR HERO"
Fajar EndraTaruna
Solo, 29 November 1974




EMIL "THE BASSMAN"
Mohammad Amil Hussein
Jakarta, 25 Agustus 1974




DAVID "DA VOC"
David Bayu Danangjoyo
Solo, 29 Agustus 1976


naifologi


NAIF KLASIK (1995 - 2003)

Berawal pada sebuah kampus seni di Jakarta, tepatnya di Cikini Raya 73, kampus Institut Kesenian Jakarta (IKJ), NAIF terbentuk. Beberapa orang mahasiswa tingkat satu dari kelas pendidikan dasar seni rupa kerap kali menginap di rumah teman mereka secara bergiliran. Tujuan awal hanyalah untuk mengerjakan tugas kuliah bersama. Tapi yang terjadi mereka seringkali malah nongkrong sambil bernyanyi-nyanyi dan bermain gitar semalam suntuk, sampai terkadang malah lupa mengerjakan tugas karena tertidur. Siapa sangka semua itu akan menjadi sebuah awal karir mereka di dunia musik?

Suatu saat di pertengahan tahun 1995, David, Pepeng dan Jarwo bermalam di rumah seorang teman. Seperti biasa, awalnya hanya untuk mengerjakan tugas kuliah, namun yang terjadi - seperti biasa yang telah disebutkan tadi - mereka malah bernyanyi dan bermain gitar semalaman. Di malam itu pula mereka tiba-tiba membuat sebuah lagu, terinspirasi dari sebuah konser akustik Nirvana yang mereka saksikan di MTV sebelumnya. Lagu tersebut akhirnya mereka beri judul "Jauh" (NAIF, debut album).

Pada saat berikutnya keisengan mereka ternyata berkembang dengan seringnya mereka menyewa studio untuk latihan band dan menyanyikan lagu-lagu buatan mereka sebagai sisipan. Di saat inilah formasi mulai mengalami pergantian, hanya tiga orang saja yang dari awal bertahan, yaitu Jarwo, David dan Pepeng. Hingga suatu saat Chandra datang mengisi kekosongan, disusul Emil. Mereka berlima masing-masing memang memiliki jam terbang sebagai anak band. Bahkan sebelum formasi ini terbentuk mereka secara terpisah pernah jamming pula. Seperti contohnya David pernah tergabung dalam satu band bersama Emil tanpa Jarwo dan lainnya. Dan selanjutnya seperti ditukar-tukar saja.

Dengan posisi David pada vokal, Jarwo pada gitar, Chandra pada keyboard, Emil pada bass dan Pepeng pada drum, mereka mulai aktif mengisi acara acara kampus IKJ. Lagu-lagu ciptaan sendiri lainnya pun menyusul, seperti "Benci Libur", "Piknik '72", dan lain lain. Sedangkan nama NAIF didapat dari pendapat seorang teman bernama Dodot, yang menilai lagu-lagu mereka terdengar begitu sederhana, namun tetap berisi dan terdengar harmonis. Selain itu, kata "NAIF" pun mudah diingat.

Suatu saat di tahun 1996 NAIF mendapat kabar dari Iwang, seorang teman, bahwa sebuah perusahaan rekaman berlabel Bulletin (PT. Indo Semar Sakti) berencana akan merilis sebuah album kompilasi. Karena tertarik atas proyek tersebut maka mereka menawarkan demo kaset yang telah mereka buat sebelumnya kepada perusahaan rekaman tersebut. Tanpa diduga ternyata sang produser tak memasukkan NAIF dalam proyek kompilasi tersebut, tapi justru berniat membuatkan album rekaman sendiri untuk NAIF. Tentu saja NAIF sangat gembira. Setelah melalui berbagai prosedur tertentu, NAIF akhirnya masuk studio rekaman dan berhasil menelurkan debut album NAIF dengan "Mobil Balap" sebagai tembang jagoannya.

NAIF tak pernah mengklaim diri bahwa mereka adalah band dengan aliran ini atau itu. Terserah apa kata penikmat musik mereka tentang jenis musik yang mereka usung. Mereka sangat tidak suka mengkotak-kotakkan musik. Bagi mereka pada dasarnya semua jenis musik adalah sama, yaitu sebuah media hiburan berupa kumpulan sejumlah nada yang dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat. Hanya pada akhirnya tergantung pada selera masing-masing individu yang mendengarkan musik tersebut. Yang jelas mereka menawarkan alternatif warna yang berbeda dari segi sound yang dipilih. Mereka suka mengkulik vintage sound dari masing-masing instrumen mereka, yang dipadukan dengan nada vokal dari David, juga beberapa tambahan aransemen lain seperti harmonisasi choir dan sebagainya. Dan itulah yang menjadi ciri dasar musik mereka.

Retro. Banyak yang mengklasifikasikan musik NAIF sebagai musik retro. Itu karena kebetulan Emil, David, Jarwo, Pepeng, dan Chandra (pada saat itu) menyukai musik-musik lama yang kemudian berpengaruh terhadap karya musik yang mereka buat. Walau demikian, tak menutup kemungkinan musik mereka akan mengalir tetapi tetap mempertahankan ciri mereka, karena bagaimanapun NAIF tetaplah manusia masa kini, yang hidup dan bersosialisasi di masa kini.

Bukan maksud melucu bila dalam aksi panggung NAIF, David sang vokalis mengeluarkan jurus-jurus saktinya yang kerap membuat penonton terpingkal-pingkal. Itu memang sudah menjadi sifatnya sehari-hari, yang kemudian ia bawa ke atas panggung sebagai media interaksi terhadap penonton. Namun tetap, mereka berlima serius dalam berkarya. Hanya saja, menurut mereka, konsep musik dan hiburan yang mereka tawarkan di setiap penampilan NAIF masih tergolong beda dari semua yang ada di Indonesia, sehingga mereka sering dianggap lucu atau unik. Intinya, mereka juga ingin menunjukkan, bahwa di balik segala hal dalam musik NAIF terdapat suatu usaha yang serius untuk menghasilkan sebuah karya yang idealis. Idealis ala NAIF.

NAIF SEKARANG (2003 - KINI)

Tahun 2003... Setelah sewindu penuh NAIF berkiprah di entertainment, tanggal 18 November 2003 Chandra memutuskan untuk mengundurkan diri dari band. Chandra memiliki alasan tersendiri atas keputusannya. Ia ingin meneruskan karirnya di dunia yang sesuai dengan pendidikan akademisnya, disain grafis. Hal ini tentu sempat membuat keempat rekannya kecewa. Namun itu tak berlangsung lama. Kini NAIF resmi berempat: Emil, David, Jarwo dan Pepeng.

Mereka bertekad untuk tetap meneruskan pergelutan mereka di blantika musik Indonesia dengan keNAIFan mereka.

Jumat, 19 September 2008

the upstairs


The Upstairs dibentuk pada bulan Oktober 2001 di Jakarta oleh Jimi Multhazam (vokalis) dan Kubil Idris (gitar) dengan pengaruh musikal dari band-band new wave seperti A Flock Of Seagulls, Devo, Depeche Mode, hingga Joy Division. Menyusul bergabung beberapa bulan kemudian, seorang drummer band metal bernama Beni Adhiantoro dan belakangan bassist Alfi Chaniago. Kebetulan kesemuanya adalah mahasiswa Institut Kesenian Jakarta. Awal 2002 The Upstairs merilis ep bertitel Antahberantah secara do-it-yourself dalam format kaset dan CD yang ludes 300 keping dalam waktu singkat. Ini dilanjutkan dengan serangkaian live performances mereka di Jakarta, Bandung dan Jogjakarta.

Selain karena ciri musikal mereka yang danceable, lirik-lirik lagu yang implisit dan jenial, The Upstairs juga terkenal karena kharisma frontman mereka, Jimi Multhazam yang eksentrik dan pandai bersilat kata jika sedang manggung. Uniknya, style musik yang diusung The Upstairs ini telah jauh lebih dulu muncul sebelum ledakan global new wave revivalist yang dipopulerkan band-band seperti Franz Ferdinand, The Killers, The Bravery, Kaiser Chiefs, Bloc Party dan sebagainya. Pendeknya, The Upstairs memang bukan band yang mengekor trend musik global, mereka justru ikut membidaninya. Sebuah hal yang cukup langka di tanah air ini.

Setelah melalui serangkaian reformasi dalam line-up, kini formasi tersolid The Upstairs adalah Jimi Multhazam (vocals), Kubil Idris (guitar), Beni Adhiantoro (drums), Alfi Chaniago (bass & keyboards), Elta Emmanuella (keyboards & synths) dan Dian Maryana (backing vocal).

The Upstairs merilis debut CD mereka yang bertitel Matraman di bawah independen label Sirkus Rekord pada tanggal 14 Februari 2004. Tepat di malam Valentine tersebut mereka menggelar pula record release party di BBs Bar, Menteng, Jakarta. Acara pesta rilis album itu kemudian tercatat sebagai gig paling ramai yang pernah diselenggarakan di bar sempit namun legendaris tersebut. 100 keping CD Matraman pun ludes dalam hitungan dua jam saja di acara tersebut.

Sebulan kemudian The Upstairs merilis video musik singel pertama mereka Apakah Aku Berada Di Mars atau Mereka Mengundang Orang Mars yang disutradarai The Jadugar (Sutradara Terbaik MTV Indonesia Awards 2003) di MTV Indonesia. Singel ini juga menerima heavy rotation airplay dan sempat menduduki posisi teratas di berbagai charts stasiun radio di pulau Jawa selama beberapa minggu. Begitu pula halnya dengan singel kedua Matraman yang rilis dua bulan kemudian.

Dua singel tersebut menjadi indie hits dan mengakibatkan album Matraman diburu banyak orang. Sayangnya, keterbatasan distribusi indie label membuat album ini sulit didapatkan di pasaran. Untuk menanggulangi permintaan yang meninggi, bulan Agustus 2004 album Matraman dirilis dalam format kaset dengan distribusi nasional via label RNB. Album debut yang menuai banyak pujian dari kritikus lokal ini kemudian oleh majalah MTV Trax ditetapkan sebagai salah satu The Best Indie Album 2004. Majalah HAI di akhir tahun 2004 bahkan memilih The Upstairs sebagai The Best Indie Band 2004.

Seiring dengan demam Matraman di Jakarta, The Upstairs pun makin sering tampil di berbagai pentas seni (pensi) yang digelar SMA-SMA di Jabotabek bersama artis-artis papan atas Indonesia. Nyatanya, semua panggung Pensi SMA bergengsi di Jakarta telah dijelajahi oleh band ini. Akibatnya, Februari 2005 Majalah HAI kemudian memilih The Upstairs sebagai salah satu Band Raja Pensi 2005. Sebuah konser tunggal The Upstairs yang digelar 9 Januari 2005 di De Basic Bar, Jakarta juga menuai sukses besar. 500 tiketnya sold-out hanya dalam waktu 2 jam saja. Fan base The Upstairs pun kian berkembang dan bertambah banyak setiap harinya.

Maret 2005 The Upstairs diminta oleh FFWD Records untuk berpartisipasi di album soundtrack film Catatan Akhir Sekolah bersama Mocca, Seringai, Pure Saturday dan sebagainya. Di album ini The Upstairs menyumbangkan singel terbaru mereka yang berjudul Gadis Gangster. Teramat padatnya jadwal tur konser ke Surabaya, Malang, Jogjakarta, Semarang dan kota-kota lainnya di Jawa mengakibatkan proses penggarapan album baru The Upstairs tersendat-sendat.

Hampir sebagian besar waktu The Upstairs di tahun 2005 dihabiskan di atas panggung. Bermaksud melangkah ke level selanjutnya, The Upstairs menyebarkan demo empat lagu baru mereka ke berbagai label rekaman terkemuka Indonesia untuk membuka kemungkinan bekerjasama. Gayung bersambut, seorang sohib lama yang kemudian bekerja sebagai A&R Warner Music Indonesia, Agus Sasongko, menawarkan kontrak eksklusif bagi The Upstairs.

Akhirnya, pada 19 September 2005 The Upstairs resmi teken kontrak satu album dengan major label Warner Music Indonesia. Proses rekaman album terbaru telah dilakukan sejak Desember 2005 hingga Februari 2006 di Studio Aluna, Kemang yang dimiliki komposer tenar Erwin Gutawa. Proses mixing sendiri dilakukan di Studio A System dengan sound engineer maestro musik elektronik, Andy Ayunir dan mastering oleh Hok Laij di Musica Studio. Album ini rilis Maret 2006.

Keyboardist Elta Emanuella pada tanggal 7 Oktober 2007 secara resmi mengundurkan diri dari band karena ingin melanjutkan studinya di luar negeri. The Upstairs sendiri saat ini tengah sibuk menyelesaikan demoing bagi album penuh ketiga mereka yang bakal rilis tahun 2008.

kaimsasikun



kaimsasikun

In a sea full of rockabilly attitude and punk rock angst, this band stands out as an abstract homage to quiet desperation and the search for direction. With titles like Tired of Being Blind and Pria Dijajah Wanita (Man Conquered by Woman) these sensitive, new-millenium types are Bali's answer to early Radiohead. While the influence is obvious, the less-conventional song structures and lilting lyrics make for a complete listening experience - unusual in an era of quick hit-singles and soundbites. The band dares to take their songs past radio-friendly lengths and cranks out five-minute jams that evoke hints of Catherine Wheel and other UK legends of the 90s.

Though it depends on who you ask, the band takes its name from a dream one of the members had on February 11, 2003, at 11 pm at night. The album has 11 tracks, K is the eleventh letter in the alphabet and the double-neck guitar they use is shaped like, you guessed it, the number 11. Still confused? "Basically it means 11 in a language we made up and really doesn't have a particular meaning," says bassist Sanny. "We just wanted a name people would remember and we thought if we made it unique enough they would."

And in the growing alternative rock scene in Indonesia, more than just fans are beginning to remember these mop-tops from Bali. Female frenzies have been known to ensue following their appearances on stage, while the more controlled elements at their shows are impressed with a polished sound that belies the age of these early twenty-somethings. Their search for meaning continues but the road ahead looks bright as they focus on the creation of a sound just as unique as their name.

DISCOGRAPHY

• Mini-album "Solas"
(Electrohell Records, 2005)

• Album "Kaimsasikun"
(Pro Sound, 2004)